Ahl
al-Sunnah wa al-Jama'ah (ASWAJA) merupakan ajaran yang mengikuti semua yang telah di
contohkan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya
Kata
al-Jama'ah adalah segala sesuatu yang telah menjadi kesepakatan para sahabat
Nabi Muhammad SAW pada masa al-Khulafa' ar-Rasyidin (Khalifah
Abu Bakar RA, 'Umar bin Khattabb RA, 'Utsman bin 'Affan
RAdan 'Ali bin Abi Thalib RA) yang telah diberi hidayah (mudah-mudahan Allah
SWT memberi rahmat pada mereka semua).
"Barang
siapa yang ingin mendapatkan kehidupan yang damai di surga, maka hendaklah ia
mengikuti al-jama'ah". (Hadits riwayat Timidzi, dan di shahihkan oleh
Hakim dan al-Dzahabi).
Karena itu, sebenarnya Ahl al-Sunnah wa
al-jama'ah merupakan Islam yang murni sebagaimana yang
diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW dan sesuai dengan apa yang telah
digariskan-diamalkan oleh para sahabat. Ketika Rasulullah SAW menerangkan bahwa
umatnya akan terpecah menjadi 73 golongan, dengan tegas Nabi SAW menyatakan
bahwa yang benar adalah mereka yang tetap berpedoman pada apa saja yang
diperbuat oleh Nabi SAW dan para sahabatnya pada waktu itu (ma ana 'alaihi
al-yaum wa ashabi).
MUSLIM ASWAJA ANTI KORUPSI
ASWAJA sangat
tegas mengharamkan korupsi dalam
bentuk apapun ( ghulul/menyembunyikan, gratifikasi/Hadiah,Risywah ( suap ),
Suht ( memperoleh Harta Haram ), Khana ( khianat/tidak bisa memegang janji/penyalahgunaan
kewenangan / Amanat yang telah diberikan) dan Syariqo ( mencuri barang ).
“Tidak mungkin seorang
nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat
dalam urusan rampasan perang itu, Maka pada hari kiamat ia akan datang membawa
apa yang dikhianatkannya itu, Kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan
tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak
dianiaya.”
(Q.S. Al Imran [3] : 161)
“Dan
janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu
dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui.”
(Q.S. Al Baqarah [2] :
188)
Dua
ayat di atas memang tidak secara spesifik berbicara tentang tindak pidana korupsi, tetapi menjelaskan tentang
mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak dibenarkan, seperti yang
terjadi pada tindak pidana korupsi. Korupsi pada hakikatnya juga mengambil
harta orang lain dengan berbagai cara yang tidak dibenarkan. Ayat pertama
menjelaskan salah satu contoh mengambil harta orang lain tanpa hak, yaitu
penggelapan harta rampasan perang. Kalau diamati kasus-kasus korupsi yang diberitakan oleh berbagai media,
maka penggelapan adalah sebagai salah satu dari bentuk korupsi. Ayat ini menjelaskan betapa
buruknya perbuatan ini, dengan menyatakan bahwa perbuatan itu tidak mungkin
dilakukan oleh seorang nabi yang mempunyai kepribadian yang mulia, bersifat
amanah dan terpelihara dari berbuat yang buruk. Kemudian buruknya perbuatan ini
dipertegas dengan hukuman yang ditetapkan Allah bagi pelaku penggelapan nanti
di hari kiamat. Mereka akan dipermalukan dengan memanggul barang yang
mereka gelapkan itu, agar perbuatan yang dahulu mereka lakukan secara
sembunyi-sembunyi itu diketahui oleh orang banyak , sehingga aibnya terbuka,
yang membuat semakin pedihnya azab. Kemudian Allah menegaskan bahwa tidak ada
satu perbuatanpun yang akan luput dari pembalasan.
Selanjutnya, pada ayat yang kedua
dijelaskan larangan memakan harta orang lain secara batil. Larangan ini
menunjukkan pada hukum haram. Artinya, haram memakan/mengambil harta orang lain
dengan cara yang tidak sesuai dengan aturan syari’at, seperti riba,
risywah/suap/gratifikasi, penggelapan, korupsi,
pencurian, perampokan, penipuan dan lain sebagainya. Kemudian Allah secara
khusus menyebutkan tentang (larangan) penyuapan terhadap hakim, agar
hakim memutus dengan tidak adil, yaitu memenangkan pihak yang menyuap
Kata
kunci dalam ayat ini adalah yaghul (al-ghal,al-ghuluul), berarti
khianat. Pengertian asalnya adalah mengambil sesuatu dengan cara sembunyi-sembunyi
(penggelapan/korupsi, pencurian).
Kata ini banyak dipakai untuk penggelapan atau pengkhianatan terkait harta
rampasan perang sebelum dibagikan. Tetapi, sebenarnya menurut bahasa kata ini
dipakai untuk pengkhianatan secara umum.
Di
awal ayat ini Allah menegaskan bahwa tidaklah mungkin seorang Nabi, yang Allah
telah memelihara mereka dari segala perilaku tidak terpuji (ma’shuum),
berkhianat dalam urusan harta rampasan perang, seperti yang dikhawatirkan oleh
segolongan pasukan pemanah pada perang Uhud yang melanggar perintah Nabi Saw,
dengan meninggalkan posisi mereka, ketika melihat tanda-tanda kekalahan pasukan
musuh di awal-awal peperangan, karena khawatir tidak akan mendapatkan harta
rampasan perang, karena akan dimonopoli oleh pasukan lain yang ada di depan
kalau mereka tidak mengambilnya sendiri. Terkait hal ini diriwayatkan bahwa
Rasul menegur mereka dengan mengatakan, “Apakah kalian mengira kami akan
berkhianat dan tidak akan membagi-bagikan ghanimah kepada kalian?”
Dengan
demikian, awal ayat ini menjawab keragu-raguan segolongan sahabat Nabi dan
sekaligus memberi penegasan bahwa: Dalam keadaan bagaimanapun tidak mungkin
seorang Nabi manapun berkhianat, termasuk dalam pembagian harta rampasan
perang, karena salah satu sifat mutlak nabi itu adalah amanah. Karena Nabi
adalah contoh teladan utama bagi umatnya, maka umatnya pun semestinya tidak
wajar melakukan pengkhianatan, berupa penggelapan, korupsi, risywah dan lain sebagainya.
Dalam
lanjutan ayat dijelaskan akibat hukum bagi para pengkhianat yang melakukan
penggelapan/korupsi, yaitu:
Siapa
saja yang melakukan penggelapan, pada hari kiamat akan datang dengan membawa
apa yang digelapkan/dikorupsinya
itu. Ulama berbeda pendapat dalam memahami hadits yang diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim tentang khutbah
nabi yang menjelaskan hukuman akhirat yang akan diterima oleh orang yang
melakukan penggelapan/korupsi dengan
dipermalukan di hadapan Allah, yaitu dengan memikul barang yang digelapkannya,
seperti unta, kuda, pakaian, emas dan perak. Dalam keadaan sulit itu, mereka
berteriak minta tolong kepada Rasul dengan mengatakan: “Ya Rasulullah tolonglah
aku!” Aku (Rasul) akan menjawab: “Aku tidak dapat berbuat apa-apa di hadapan
Allah untukmu, karena aku telah menyampaikan kepadamu (tentang haramnya
perbuatan itu).” Ada yang memahaminya dalam arti hakikat, bahwa mereka
benar-benar memikul barang-barang yang digelapkan atau dikorupsinya. Orang itu sangat malu dan tersiksa dengan beban yang
dipikulnya itu, karena semua mata tertuju kepadanya. Dan ada yang memahaminya
sebagai suatu perumpamaan, dalam arti bahwa para pelaku akan membawa dosa
akibat perbuatannya itu, seperti orang yang memikul barang-barang yang
digelapkannya, sehingga ia sangat kepayahan, dan tidak seorangpun mau
menolongnya. Lalu ia menuju orang yang diharapkan bisa menolongnya, dalam hal
ini Rasul, tetapi perkiraannya salah, karena Rasulpun tidak mau menolongnya.
Sementara itu, Abu Muslim
al-Asfihani mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-Ityaan/ya’tiy
pada ayat ini adalah, bahwa Allah mengetahui benar perbuatan mereka dan akan
menyingkapkan lebar-lebar. Artinya, walaupun perbuatan penggelapan dan
seumpamanya itu dilakukan dengan sangat tersembunyi, sehingga mungkin tidak
seorangpun yang tahu, tetapi itu akan diketahui oleh Allah. Kelak, di hari
kiamat Allah akan menampakkan perbuatan itu kepada pelakunya.
Kemudian
setiap diri akan diberi balasan terhadap apa yang dikerjakannya dengan
(pembalasan) yang setimpal, sedang mereka tidak dianiaya. Pembicaraan mengenai
pembalasan ini bersifat umum untuk semua perbuatan, walaupun konteks
pembicaraan di awal terkait dengan pelaku penggelapan. Hal ini merupakan
penegasan pembalasan itu adalah pasti untuk semua perbuatan dosa yang
dilakukan, baik kecil maupun besar, seperti yang dinyatakan oleh firman Allah
dalam Q.S. Al Kahfi (18) : 49.
Janganlah
sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain secara batil. Artinya mengambil
harta orang lain dengan cara yang tidak diizinkan oleh aturan syari’at. Di
dalam ayat ini digunakan lafaz amwaalakum/harta kamu. Ini menurut para
mufassir mengandung beberapa makna, yaitu; bahwa pada dasarnya umat adalah satu
dalam menjalin kerja sama, dan harta itu diperoleh dari hasil interaksi antara
satu dengan yang lain. Di samping itu harta itu juga semestinya memiliki fungsi
sosial, dimana sebagian dari yang dimiliki oleh seseorang adalah juga merupakan
milik orang lain. Dengan demikian, menghormati harta orang lain pada hakikatnya
menghormati harta sendiri. Begitu juga sebaliknya.
Larangan
di dalam ayat ini adalah memakan harta orang lain dengan cara batil. Menurut
Ali Ash-Shaabuuni, yang dimaksud al-baathil secara terminologi adalah,
harta yang haram, seperti harta yang didapat dengan jalan merampok, mencuri,
berjudi dan riba. Sementara itu al-Maraghi menyebutkan bahwa yang
termasuk kepada al-baathil itu adalah riba, risywah/suap/gratifikasi,
harta zakat yang diambil oleh orang yang tidak berhak, hasil penjualan jimat
dan seumpamanya, gashab manfaat, misalnya mempekerjakan orang tanpa diberi
upah, atau memberi upah yang tidak pantas, penipuan dan pemerasan, upah
melakukan ibadah.
Dari
penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa seseorang dilarang mencari kekayaan dan
penghidupan dengan cara-cara yang dilarang oleh syari’at, karena hal itu akan
merugikan orang lain.
Dan
janganlah kamu menyuap/menyogok hakim atau dengan memberikan keterangan yang
palsu dengan maksud bisa menguasai harta yang bukan milikmu. Artinya, janganlah
kamu meminta bantuan hakim untuk mengambil harta orang lain dengan cara batil,
karena perbuatan itu hukumnya haram dan berdosa.
Larangan
membawa perkara harta ini kepada hakim itu adalah karena tujuannya tidak benar,
yaitu agar bisa mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak benar,
seperti berbohong, sumpah dan kesaksian palsu, dan lain sebagainya. Padahal
kamu (hatimu) tahu dan sadar betul bahwa perbuatanmu itu adalah salah dan
berdosa. Meminta bantuan hakim untuk mendapatkan pembenaran formal, tidak akan
mengubah hukum di sisi Allah, karena putusan hakim, pada dasarnya sama
sekali tidak bisa mengubah yang haram jadi halal atau sebaliknya. Hakim hanya
bisa memberikan keputusan berdasarkan fakta-fakta lahiriah yang ada di
persidangan. Bila hakim memutuskan seseorang menang di pengadilan berdasarkan
fakta di persidangan, sedangkan sebenarnya itu bukan haknya, maka putusan
pengadilan tidak bisa menghalalkan yang haram itu. Dalam satu hadits yang
diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan beberapa perawi lain dari Ummu
Salamah, disebutkan bahwa ketika dua orang yang bersengketa tentang satu objek
harta datang kepada Nabi, Beliau bersabda: “Sesungguhnya aku adalah manusia
seperti kalian; dan kalian mengadukan sesuatu kepada saya. Boleh jadi salah
seorang di antara kalian lebih pintar dalam memberikan argumentasi dari yang
lain, lalu aku memutus sesuai dengan keterangan yang aku dengar. Siapa yang aku
putuskan baginya sesuatu dari hak saudaranya, lalu ia mengambilnya,
berarti aku telah memberikan kepadanya sepotong api neraka.” Mendengarkan
penjelasan Nabi ini, maka kedua orang itu menangis, lalu yang satu berkata
kepada saudaranya: “Kepunyaanku terserah kepada temanku ini.” Kemudian
Rasul berkata kepada keduanya: “Pergilah kalian, capailah tujuan dengan cara
yang benar. Lakukanlah undian, dan sesudah itu hendaklah kalian saling
memaafkan.”
Ayat
dan hadits ini, menjadi panduan yang berharga bagi orang yang beriman dalam
masalah hukum yang menyangkut hak/harta, menjadi siapapun dia, apakah hakim,
pembela, penggugat, ataupun tergugat. Para hakim dituntut memutus secara benar,
jangan pernah mau disogok dan ditekan, para pembela jangan hanya berfikir yang
penting kliennya menang, para penggugat dan tergugat, jangan pernah mau
menggugat dan mengambil yang bukan haknya.
Kesimpulan
- Korupsi adalah salah satu bentuk dari memakan/mengambil harta orang lain dengan cara batil yang diharamkan oleh Islam. Karena itu pelakunya akan mendapatkan hukuman di dunia dan diakhirat. Di akhirat nanti para koruptor akan dipertontonkan memanggul barang hasil korupsinya, tidak seorangpun bisa menolongnya.
- Seorang muslim semestinya tidak akan melakukan korupsi, karena perbuatan itu merupakan khianat, lawan dari amanah–yang seharusnya menjadi sifat yang melekat dengan seorang muslim–. Selain itu, di dalam dua sumber ajaran Islam telah dijelaskan keburukan perbuatan korupsi itu dan hukuman yang diancamkan kepada pelaku dalam kehidupan di dunia ataupun di akhirat.
- Maraknya korupsi di negara kita yang mayoritas penduduknya beragama Islam adalah sesuatu yang sangat memprihatinkan dan harus segera diberantas. Semua pihak harus berpartisipasi untuk pemberantasan ini.
- Memahami dan mengamalkan ajaran Islam adalah jalan keluar dari persoalan ini, karena apabila setiap muslim betul-betul yakin akan ajaran agamanya tentu ia akan mematuhinya dan takut melanggarnya.
Hakim yang paling jujur dan tidak
bisa disuap di dunia ini adalah hati nurani. Nabi memerintahkan kita minta
fatwa kepada hati nurani (istafti qalbak). Karena itu, setiap kita harus
bertanya kepada hati nurani masing-masing. Apabila hati kita tenang melakukan
sesuatu dan kita tidak takut orang lain tahu tandanya perbuatan itu baik.
Tetapi jika hati kita was-was dan takut/khawatir kalau ada yang tahu, tandanya
itu tidak baik. Bagi yang telah terlanjur, bertaubatlah. Mohon ampun kepada
Allah, dan kembalikanlah hak orang yang berpindah kepada kita dengan cara yang
tidak benar.
Artikel terkait :
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !